Kamis, 03 April 2014

Miss



Bismillahirrahmanirrahim...

Untuk sebuah nama yang pernah terukir indah dihatiku
Demi detik sengaja kuingat ucapanmu, sikapmu,
Dan inilah... suara hatiku tentang dirimu..
Disaat kulakukan kesalahan dan belum sempat meminta maaf, kau tetap memaafkan diriku karena tak ada simpanan dendam dalam tabungan hatimu..
Sempat aku membuatmu marah namun tak ada kata benci darimu, kau tetap menerima kehadiranku dengan segala kekuranganku
Seandainya ada kata benci darimu, aku tetap yakin kau tak mau memutuskan do’a untuk kebaikanku, masih tetap kau mengingatkanku untuk selalu dekat dengan Rabbku…
Kau pernah berkata, “aku takut kehilanganmu jika kau tak mau dekat dengan Rabbi, karena cintaku tergantung seberapa besar cintamu terhadap Rabbi”..
Aku mencintaimu karena kedekatanmu dengan Sang Penggenggam Cinta. Jika engkau menjauh dari Dia maka lunturlah cintaku kepadamu.
Subhanalloh...
Itulah yang aku suka dari dirimu meski akhirnya kita belum bisa bersama seutuhnya.
Maaf...
Kau pasti tau betapa aku masih mengagumi dan mencintaimu, namun aku sadar itu sebuah kekhilafan.
Maaf...
Jika kehadiranku hanya kerikil bagimu, penghalang yang menjauhkanmu kepadaNya.
Kini aku sadar...
Dirimu hanya mendamba cinta suci dalam keridhoanNya.
Tetaplah mencintaiNya, gapai cintaNya dengan sempurna, tak usah kau hiraukan cintaku disini, karena aku juga ingin menggapai cintaNya dengan sempurna.
Bila takdir membawa tangan jodoh kita saling bertepuk, maka pada waktunya Allah akan menyatukan kita. Biarkan kita saling melepas rasa demi sesuatu yang indah tepat pada waktunya...

Sabtu, 13 Juli 2013

Bersamamu aku makin cinta

“Ibu mencintai dengan caranya sendiri, ayah pun mencintai dengan caranya sendiri. Kakak punya cara tersendiri dalam mencintai, adik pun punya cara tersendiri dalam mencintai. Teman dan sahabat juga punya cara tersendiri dalam mencintai, orang lain pun punya cara tersendiri. Cinta punya banyak warna, sebagaimana kita punya cara tersendiri dalam mencintai”.
Waktu terasa semakin berlalu, namun hingga kini kami masih membisu, terpekur dalam melodi kesunyian. Ayah, inginku menghadirkan kembali keceriaan yang kita ciptakan bersama dahulu. Ingin rasanya kembali ke masa lalu saat tidak ada rasa segan dan tertutup seperti yang ada pada hari ini. “Ayah kemana? Ko’ aku mau berangkat ayah malah pergi?”. Lagi-lagi pertanyaan itu muncul dalam benakku. Setidaknya mengantarku sampai ke dalam bis yang mengantar keberangkatanku saja ayah tidak bisa. Kenapa ayah?? Dan seakan ada sesuatu yang sedang berperang di dalam Hati ini.
Sampai pada saat itu, ayah mengantarku menuju keberangkatanku ke kota perantauan. Hanya pelukan hangat untukmu saat aku meninggalkanmu demi menuntut ilmu di kota ini. ketika itu aku melihat sosok keteguhanmu dibalik pandangan matamu yang berkaca-kaca karna perpisahan. Keridhaanmu menjadi peneguh dalam perantauanku ini, keikhlasanmu menguatkan kesabaran dalam perjuangan ini, dan untaian do’a dalam tangismu menjadi penyejuk hati saat galau menghampiri.
Sekarang aku baru faham alasan ayah sebenarnya, Hanya karna tak kuasa membiarkanku pergi jauh, ayah hampir tidak pernah menemani keberangkatanku menuju kota perantauanku.
Ayah, Apa kabar? Semoga Allah selalu menjagamu siang dan malam. Maaf jika aku jarang memberi kabar walau hanya sekadar SMS. Aku luluh dengan jawabanmu, “Ayah sehat, kamu pun harus jaga kesehatan. Ayah tahu kamu sangat sibuk. Belajarlah yang rajin”.
Aku tertohok, “sibuk?” Aku tidak sesibuk yang Ayah pikirkan. Hanya saja aku yang sering sombong dan menomorsatukan ego. Aku minta maaf Ayah. Jika di flash back, tentulah sikap yang kutunjukkan hari ini sangat jauh berbeda dengan apa yang engkau berikan padaku.
Aku sangat ingat betul ketika engkau dengan ikhlasnya menggendongku menuju rumah nenek karena bajir yang melanda pada kala itu. Kekhawatiranmu akan kesehatanku sangat kuhargai. Ayah, betapa hebat dirimu, dan aku selalu mengagumimu. Aku tak pernah menuliskan bahwa aku menginginkan sesuatu, tapi kau selalu tahu apa yang ku mau. Kau pun selalu mengerti saat aku merasa jenuh, saat aku sedih, saat aku senang, saat aku ingin memelukmu, dan saat aku merindukan ibu.
Ayah, aku mencintaimu seperti aku mencintai ibu.
“Dalam ukuran tertentu, kehilangan yang kau alami mungkin jauh lebih menyakitkan. Tetapi kita tidak sedang membicarakan ukuran relatif lebih atau kurang. Semua kehilangan itu menyakitkan. Apapun bentuk kehilangan itu, ketahuilah, cara terbaik untuk memahaminya adalah selalu dari sisi yang pergi. Bukan dari sisi yang ditinggalkan...”
Sekarang, walaupun tanpa ibu ayah tetap tegar menghadapi semuanya, seperti dulu. Ayah.  Engkau tak pernah lelah dan bosan mengajari kami. Engkau begitu indah mengajarkan makna perjuangan pada diri ini. Mengajarkan tentang bagaimana menjaga kobaran semangat juang agar tetap menyala terang dan tak mudah redup oleh cobaan yang menghadang. Engkau mengajari ku tentang sebuah arti tanggung jawab akan setiap kata yang terucap dan sikap yang terlukiskan. Engkau mengajari bagaimana memberi sesuatu yang dimiliki terbungkus tulusnya ikhlas, hingga diri ini mengerti indahnya berbagi. Mengajari diri ini, bagaimana menjaga dan membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Sepenuh kasih serta rasa sayang yang mengalir pada setiap perbuatan hingga mereka merasakan syahdunya cinta yang terbukti nyata melalui kata dan perilaku. Do’amu senantiasa menghiasi setiap langkah perjuangan kami.
Ayah, satu kata penuh makna tentang perjuangan dan pengorbanan. Semoga diri ini bisa menjadi anak yang berbakti padamu, memberikan balasan yang terbaik dan terindah untukmu, sebagai kado cinta di dunia dan akhirat. Sadar bahwa semua yang kau berikan tak akan pernah sanggup untuk dibalas, berharap diri ini bisa menjagamu pada saat dirimu semakin rapuh termakan usia. Mengukirkan senyum-senyum kebahagiaan di saat kau menikmati masa tuamu, mengalirkan kasih sayang pada setiap sendi-sendi tubuh rentamu yang haus dan rindu akan cinta yang dapat menguatkan jiwa. Berharap di setiap doa diri ini bisa menjagamu hingga engkau kembali kepada-Nya....
Ayah, untuk sebuah hidayah yang Allah berikan semoga bisa kita jaga dengan baik. Aku sangat bersyukur memiliki ayah sepertimu. Bertanggung jawab, sabar, tekun, dan dekat dengan Allah. Apa lagi yang kuharapkan selain dari keempat poin itu? Bahkan jika poin terakhir saja ada pada dirimu, maka kesyukuran ini sudah cukup berlimpah, karena aku yakin kedekatan dengan Allah akan menghadirkan setiap perkara baik. Aku bangga padamu, Ayah.
Aku pun memiliki impian, Ayah. Dan itu juga melibatkan dirimu. Ditemani oleh doa- doamu, aku semakin optimis meraih impian itu. Aku merindumu, Ayah.
Ayah, bersamamu aku makin cinta. Aku tak punya materi yang mampu membalas jasamu tapi aku punya Allah di mana ku berdoa pada-Nya agar Dia senantiasa menempatkanmu di tempat terbaik-Nya. Dia memenuhi pintamu sebagaimana kau penuhi pintaku. Dia menjagamu melebihi kau menjagaku. Akhirnya semoga ayah baik-baik saja. Semoga Allah selalu menyayangimu dengan memberimu kekuatan untuk selalu menyayangiku.
`Syakira Ar-Ryhand `

Sweet Lovely




 Kehilangan bukan tangis, bukan juga pedih ataupun perih, bukan pula tentang rasa sakit. Kehilangan adalah ketegaran, karena Allah ingin kita belajar lebih mencintai-Nya dalam keikhlasan. Kehilangan adalah kesabaran karena Allah ingin kita paham bahwa Dia akan membalas kesabaran kita dengan hal yang jauh lebih indah.
jika sesuatu itu tak di sampingnya lagi....
kadang menjadi sadar..
bahwa kita sering membutuhkan seseorang justru setelah ia pergi atau menghilang..
bahwa sesuatu menjadi lebih berarti ketika mereka sudah tidak ada.
saat kehilangan, kita akan temukan menjadi suatu perasaan menyesal yang terlambat ..
( i wish she is still here with us )
apakah kita akan seperti itu dulu?
Gerimis senja kali ini belum benar-benar tuntas, masih menyisakan titik-titik bening yang jatuh, terkadang miring disapu arah angin, indah bagai ritmis. Angin senja basah menelusupkan dingin pada palung jiwa yang terus kusembunyikan dari duka. Sebenarnya bukan benar-benar duka, tapi tak lebih dari sebuah kerinduan yang tercekat pada dinding kehilangan yang kian hari kian melebar memasung rasa ini.
Kurang lebih 1th sudah ibu pergi meninggalkan kami. Karna berbagai pertimbangan, aku yang saat itu baru saja 1th mengikuti kuliah sempat berfikir untuk berhenti kuliah. Toh, belum setengah waktu dari perjalanan yang sudah aku lalui. Selain karna alasan finansial, aku juga ingin menemani ayah di rumah. Ayah memang tidak sendiri, dirumah ada 2 abangku dan adik perempuanku yang masih kecil. Tapi untuk mengurus rumah dan adik? Apa ayah bisa? Bukan aku meragukan kemampuan ayah, tapi untuk mengurus sie bungsu ini kurasa tidak mudah. Karna sifatnya yang agak manja dan sedikit keras sehingga membutuhkan ketelatenan dan tentunya kesabaran yang ekstra.
Malam itu, ketika perkumpulan keluarga kusampaikan keinginanku untuk tidak lagi melanjutkan kuliah. Kutatap ketiga kakakku, namun semua terdiam seperti memang menyerahkan jawabannya pada diriku sendiri, setelah beberapa menit kemudian ayah angkat bicara “kamu lanjut saja kuliah, biar rumah dan adik-adik ayah yang urus. Tugas kamu itu hanya belajar, dan ini adalah tanggung jawab ayah sebagai kepala keluarga”. Aku mengharu, “ayah terlalu tegar” gumamku. Akhirnya dengan beragam perasaan yang berkecamuk aku tetap melanjutkan kuliahku.
Setelah +_sebulan aku diberi kabar bahwa adik bungsuku sekarang sudah pindah dibawah asuhan kakak perempuanku yang saat itu sudah menikah. Kata Ayah “Untuk memahami materi tentang pendidikan anak memang mudah, namun dalam merealisasikannya, ternyata...
Ayah sudah merasa tidak bisa jika harus mengurusnya seorang diri.
Aku jadi teringat ibu. Suatu hari pernah ada salah satu temanku bertanya, “kamu sering gak sih kangen sama ibu’mu?” deeghh... serasa dada langsung menghimpit, sesak! Bagaimana aku tidak merindukannya, sosok inspirasiku, penyemangat hidupku. Aku memang merasa kehilangan, sangat hilang. Tapi dengan ketegaranku aku mencoba untuk menghapus dukaku. Lagipula ibu tidak pernah pergi jauh, ibu masih disini, dihatiku, selamanya.
Dialah sosok inspirasiku, dengan keteguhannya, kesabarannya, Ia tak pernah lelah mengingatkan dan terus membimbing kami berada diatas jalanNya. Tidak hanya membimbing, tapi juga menjadi contoh yang baik  untuk anak-anaknya. Qiyamul lail, shalat sunah, shaum sunah, dan amalan-amalan sunah lainnya yang hampir tak pernah Ia tinggalkan, membuatku merasa malu. Ia yang tidak pernah mencicipi masa menyantri bisa slalu berusaha menjaga keistiqomahannya. Sedangkan aku...!?
Baru kusadari, ternyata ibu bisa menjelma peran apa saja. Menjadi koki pintar yang selalu memuasiku dengan makanan tak bertarif. Atau seorang psikolog handal, yang berjam-jam rela menjadi keranjang sampah cerita rutinitasku tanpa harus dibayar. Dokter yang menjagaku sepanjang malam tanpa lelap sedikitpun kala aku harus terbaring mengalami sakit, dan itu gratis. Kali lain engkau menjadi sahabat dekat yang mengingatkanku untuk berhati-hati dengan seorang pangeran, saat itu aku tersenyum malu, ternyata kau bisa menebak apa yang belakangan itu terjadi padaku.
Ibu, dua puluh tahun sudah usiaku kini, Sudah selama itukah aku menapaki hidup? Perasaan baru kemarin aku mengeja "Ini Budi" dan menghapal perkalian 7. Sudah selama itukah aku menjadi bebanmu? (Aku sangat yakin engkau tidak berkenan dengan penggunaan kata "beban"). Bagimu, aku adalah tempat untuk mengekspresikan banyak hal, kasih sayang, ketulusan, keluhuran budi, kecerdasan, kearifan. Untukmu, aku adalah perwujudan cinta hakiki. Pernah suatu hari ibu menangis melihat darah yang keluar ketika aku terjatuh, dan ibu memelukku erat, "Sayang... berikan rasa sakit itu untuk ibu". Ah ibu, andai waktu itu bisa kubujuk untuk kembali, aku tak akan meraung-raung dan membuatmu khawatir, tetapi aku akan berkata "Aku baik-baik saja ibu".
Ibu, terima kasih sudah menyeberangkanku ke usia ini dengan selamat. Terima kasih juga atas rambu-rambu yang senantiasa menjadi pengarah hingga aku tidak terantuk dan tersesat. Berjuta rasa bahagia, karena telah menjadi anak dari seorang ibu yang bijaksana, seorang yang selalu mewarnaiku dengan do'a-do'a ikhlasnya, seorang yang mendorongku untuk menjadi kaya ilmu dan budi. Engkau adalah orang terkuat di dunia kecilku, dalam naungan langit mungil yang selalu mengakrabkanku dengan dunia sebenarnya. Aku tidak akan menjadi apa-apa bila keberadaanmu nihil. Dan Ayah, bantu aku manjadi sosok yang diharapkanmu. Karena aku sadar, tidak mudah membangunnya sendirian.
Bersambung...
`Syakira Alfina `

Template by:

Free Blog Templates