Kehilangan bukan tangis, bukan juga pedih ataupun perih,
bukan pula tentang rasa sakit. Kehilangan adalah ketegaran, karena Allah ingin
kita belajar lebih mencintai-Nya dalam keikhlasan. Kehilangan adalah kesabaran
karena Allah ingin kita paham bahwa Dia akan membalas kesabaran kita dengan hal
yang jauh lebih indah.
jika sesuatu itu tak di sampingnya lagi....
kadang menjadi sadar..
bahwa kita sering membutuhkan seseorang justru setelah ia
pergi atau menghilang..
bahwa sesuatu menjadi lebih berarti ketika mereka sudah
tidak ada.
saat kehilangan, kita akan temukan menjadi suatu perasaan
menyesal yang terlambat ..
( i wish she is still here with us )
apakah kita akan seperti itu dulu?
Gerimis senja kali ini belum benar-benar
tuntas, masih menyisakan titik-titik bening yang jatuh, terkadang miring disapu
arah angin, indah bagai ritmis. Angin senja basah menelusupkan dingin pada
palung jiwa yang terus kusembunyikan dari duka. Sebenarnya bukan benar-benar
duka, tapi tak lebih dari sebuah kerinduan yang tercekat pada dinding kehilangan
yang kian hari kian melebar memasung rasa ini.
Kurang lebih 1th sudah ibu pergi meninggalkan kami. Karna
berbagai pertimbangan, aku yang saat itu baru saja 1th mengikuti kuliah sempat
berfikir untuk berhenti kuliah. Toh, belum setengah waktu dari perjalanan yang
sudah aku lalui. Selain karna alasan finansial, aku juga ingin menemani
ayah di rumah. Ayah memang tidak sendiri, dirumah ada 2 abangku dan adik
perempuanku yang masih kecil. Tapi untuk mengurus rumah dan adik? Apa ayah
bisa? Bukan aku meragukan kemampuan ayah, tapi untuk mengurus sie bungsu
ini kurasa tidak mudah. Karna sifatnya yang agak manja dan sedikit keras
sehingga membutuhkan ketelatenan dan tentunya kesabaran yang ekstra.
Malam itu, ketika perkumpulan keluarga kusampaikan keinginanku
untuk tidak lagi melanjutkan kuliah. Kutatap ketiga kakakku, namun semua
terdiam seperti memang menyerahkan jawabannya pada diriku sendiri, setelah
beberapa menit kemudian ayah angkat bicara “kamu lanjut saja kuliah, biar rumah
dan adik-adik ayah yang urus. Tugas kamu itu hanya belajar, dan ini adalah
tanggung jawab ayah sebagai kepala keluarga”. Aku mengharu, “ayah
terlalu tegar” gumamku. Akhirnya dengan beragam perasaan yang berkecamuk aku tetap melanjutkan kuliahku.
Setelah +_sebulan aku diberi kabar bahwa adik bungsuku sekarang
sudah pindah dibawah asuhan kakak perempuanku yang saat itu sudah menikah. Kata
Ayah “Untuk memahami materi tentang pendidikan anak memang mudah, namun dalam
merealisasikannya, ternyata...
Ayah sudah merasa tidak bisa jika harus mengurusnya
seorang diri.
Aku jadi teringat ibu. Suatu hari pernah ada salah satu
temanku bertanya, “kamu sering gak sih kangen sama ibu’mu?” deeghh... serasa dada langsung menghimpit,
sesak! Bagaimana aku tidak merindukannya, sosok inspirasiku,
penyemangat hidupku. Aku memang merasa kehilangan, sangat hilang. Tapi dengan
ketegaranku aku mencoba untuk menghapus dukaku. Lagipula ibu tidak pernah pergi
jauh, ibu masih disini, dihatiku, selamanya.
Dialah sosok inspirasiku, dengan keteguhannya,
kesabarannya, Ia tak pernah lelah mengingatkan dan terus membimbing kami berada
diatas jalanNya. Tidak hanya membimbing, tapi juga menjadi contoh yang
baik untuk anak-anaknya. Qiyamul lail,
shalat sunah, shaum sunah, dan amalan-amalan sunah lainnya yang hampir tak
pernah Ia tinggalkan, membuatku merasa malu. Ia yang tidak pernah mencicipi
masa menyantri bisa slalu berusaha menjaga keistiqomahannya. Sedangkan aku...!?
Baru kusadari, ternyata ibu bisa menjelma peran apa saja.
Menjadi koki pintar yang selalu memuasiku dengan makanan tak bertarif. Atau
seorang psikolog handal, yang berjam-jam rela menjadi keranjang sampah cerita
rutinitasku tanpa harus dibayar. Dokter yang menjagaku sepanjang malam tanpa
lelap sedikitpun kala aku harus terbaring mengalami sakit, dan itu gratis. Kali
lain engkau menjadi sahabat dekat yang mengingatkanku untuk berhati-hati dengan
seorang pangeran, saat itu aku tersenyum malu, ternyata kau bisa menebak apa
yang belakangan itu terjadi padaku.
Ibu, dua puluh tahun sudah usiaku kini, Sudah selama
itukah aku menapaki hidup? Perasaan baru kemarin aku mengeja "Ini
Budi" dan menghapal perkalian 7. Sudah selama itukah aku menjadi bebanmu?
(Aku sangat yakin engkau tidak berkenan dengan penggunaan kata
"beban"). Bagimu, aku adalah tempat untuk mengekspresikan banyak hal,
kasih sayang, ketulusan, keluhuran budi, kecerdasan, kearifan. Untukmu, aku adalah
perwujudan cinta hakiki. Pernah suatu hari ibu menangis melihat darah yang
keluar ketika aku terjatuh, dan ibu memelukku erat, "Sayang... berikan
rasa sakit itu untuk ibu". Ah ibu, andai waktu itu bisa kubujuk untuk
kembali, aku tak akan meraung-raung dan membuatmu khawatir, tetapi aku
akan berkata "Aku baik-baik saja ibu".
Ibu, terima kasih sudah menyeberangkanku ke usia ini
dengan selamat. Terima kasih juga atas rambu-rambu yang senantiasa menjadi
pengarah hingga aku tidak terantuk dan tersesat. Berjuta rasa bahagia, karena
telah menjadi anak dari seorang ibu yang bijaksana, seorang yang selalu
mewarnaiku dengan do'a-do'a ikhlasnya, seorang yang mendorongku untuk menjadi
kaya ilmu dan budi. Engkau adalah orang terkuat di dunia kecilku, dalam naungan
langit mungil yang selalu mengakrabkanku dengan dunia sebenarnya. Aku tidak
akan menjadi apa-apa bila keberadaanmu nihil. Dan Ayah, bantu aku manjadi sosok
yang diharapkanmu. Karena aku sadar, tidak mudah membangunnya sendirian.
Bersambung...
`Syakira Alfina `